Solo – Pada tanggal 19 September 2022, di Solo, Komite IV DPD RI mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dalam rangka Pengawasan atas Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2021 tentang APBN Tahun Anggaran 2022. Fokus FGD kali ini difokuskan pada penyaluran Dana Desa, dengan tema “Menuju Otonomi Dana Desa”.
Kegiatan FGD dipimpin oleh Abdul Hakim, Wakil Ketua Komite IV DPD RI yang dihadiri oleh sejumlah anggota Komite IV DPD RI. Selain itu, FGD juga dihadiri oleh Tri Handoyo, Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Jawa Tengah, Taukhid Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala KANWIL DJPb Provinsi Jawa Tengah, Widodo Sekda Kabupaten Sukoharjo, dan Mulyanto, Akademisi FEB UNS.
Dalam sambutannya, Abdul Hakim yang juga senator asal Lampung mengungkapkan tujuan FGD kali ini. Setidaknya terdapat lima tujuan yang hendak dicapai dalam FGD kali ini. “Kami berharap kegiatan FGD kali ini bisa diperoleh beberapa informasi penting terkait pengelolaan dana desa, terutama pengelolaan dana desa.” Jelas Abdul Hakim.
Kelima tujuan tersebut adalah pertama, mendapatkan gambaran secara umum mengenai implementasi pelaksanaan Dana Desa dari tahun 2015 hingga tahun 2022 terutama di Jawa Tengah. Kedua Mendapatkan pandangan dari para narasumber mengenai kebijakan TKD di dalam UU No. 6 Tahun 2021 tentang APBN TA 2022, khususnya mengenai Dana Desa Tahun 2022.
Ketiga mendapatkan pandangan dan pendapat dari para narasumber mengenai ketentuan Dana Desa sebagaimana diatur dalam Perpres No. 104 tahun 2021 tentang Rincian APBN TA 2022 dan PMK No. 190/PMK.07/2021 tentang Pengelolaan Dana Desa, keempat memperoleh informasi terkait permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah dan pemerintah desa dalam hal penyaluran dan pengelolaan Dana Desa dan kelima mendapatkan pandangan dan pendapat dari narasumber mengenai otonomi Dana Desa.
Abdul Hakim menambahkan, hingga saat ini masih ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh pemerintah desa dalam pengelolaan dana desa. “Kami melihat masih ada beberapa permasalahan dalam pengelolaan dana desa, khususnya tahun 2022 yang saat ini masih terjadi di Indonesia. Permasalahan-permasalahan ini kami rangkum dari beberapa hasil kunjungan ke dapil kami, “ terang Abdul Hakim.
Beberapa masalah tersebut antara lain pertama sanksi pemotongan Dana Desa apabila tidak menyalurkan BLT sebesar 50%. “Ketentuan ini sangat memberatkan pemerintah desa, kebijakan sanksi ini telah memangkas hak-hak desa, khususnya bagi desa yang masyarakatnya cukup mapan dan tidak memerlukan banyak BLT kedua alokasi dana desa paling sedikit 40 persen untuk BLT” tegas Abdul Hakim.
Kemudian permasalahan ketiga, tumpeng tindih peraturan yang mengatur tentang pengelolaan Dana Desa dan keempat perencanaan pembangunan desa yang masih sering ditemui.
Pembicara Pertama, Asisten II Sekda Boyolali Insan Adi Asmono mengatakan bahwa otonomi dana desa tahun 2022 kadarnya masih kurang dari 50 persen. “Sejatinya, desa hanya punya otonomi dana desa sebesar 32 persen yang benar-benar bisa dikelola oleh desa karena tidak ada cantolan dari pemerintah pusat seperti ketentuan 40% BLT,” jelas Insan,
Terkait pengelolaan dana desa untuk BLT ataupun penyaluran BLT lain, Isnan yang pernah menjabat sebagai inspektorat di Kabupaten Boyolali mengungkapkan skema penyalurannya harus noncash. “Penyaluran dana bantuan dengan transaksi cash banyak menimbulkan masalah. Dengan noncash, problem tersebut bisa dikurangi,” ungkap Isnan.
Tri Handoyo, Kepala BPKP Jawa Tengah mengungkapkan ada beberapa hasil analisa permasalahan pengelolaan dana desa. Terdapat beberapa temuan permasalahan umum yang menghinggapi pengelolaan dana desa. Permasalahan tersebut antara lain keterbatasan sumber daya pengawasan SDM dan Anggaran.
“Jumlah desa sebanyak 74.962 memiliki SDM dengan kondisi yang bervariasi (Kualitas dan Kuantitas),” ungkap Handoyo.
Permasalahan berikutnya adalah pengawasan dana desa belum kolaboratif. “Pengawasan Inspektorat Kab/Kota, BPD, Camat, Masyarakat, Itjen K/L: Kemendagri, Kemendes PDTT, BPKP, dan KPK-RI belum bersifat kolaboratif”, tambah Tri Handoyo.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Kabupaten Sukoharjo, Widodo mengungkapkan di desa, rata-rata masih mengandalkan dana transfer, baik dari pemerintah pusat, pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi. “Selama ini pendapatan asli desa di Sukoharjo rata-rata berkisar 15% yang berasal dari lelang tanah bengkok desa” ungkap. Widodo.
Kemudian, terkait dengan perencanaan pembangunan desa, diperlukan sinkronisasi RPJM DES, RPJM Kab, RPJM Prov, RPJM Nasional. “Sinkronisasi antar dokumen perencanaan diperlukan agar penyaluran dana desa berjalan optimal“ ungkap Widodo
Taukhid Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala KANWIL DJPb Provinsi Jawa Tengah mengungkapkan, alokasi dana desa untuk penanganan covid-19, bukan berarti mendegradasi ruang pengelolaan dana desa oleh pemerintah desa. Namun dalam rangka burden sharing untuk penanganan covid-19 antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan desa. “Alokasi dana desa untuk covid-19 tidak berarti mendegradasi ruang pengelolaan dana desa. Hal tersebut lebih bersifat burden sharing untuk penanganan pandemi covid-19”, ungkapnya
Mulyanto akademisi FEB Universitas Sebelas Maret menekankan dana desa harus mampu meningkatkan besaran indeks desa membangun. “Peningkatan angka indeks desa membangun menunjukkan adanya kemajuan pembangunan desa yang salah satunya didukung oleh keberadaan dana desa” papar Mulyanto.
Menanggapi paparan pemateri anggota Komite IV DPD RI memberikan tanggapan dan mengajukan beragam pertanyaan.
Abdul Hakim, Senator Asal Lampung, mengapresiasi paparan yang disampaikan oleh narasumber yang berkualitas dan penuh data dan informasi yang bermanfaat. Selain itu, Abdul Hakim juga menambahkan otonomi desa harus selaras dengan otonomi daerah dimana hal tersebut merupakan Amanah dari reformasi.
“Agar amanah reformasi tersebut bisa terwujud dengan baik maka, diperlukan tata kelola pengelolaan dana desa yang terintegrasi. Saya sepakat dengan SKB tiga Menteri yang mengatur dana desa. Namun demikian, SKB tersebut jangan mendistorsi kebijakan penyaluran dana desa” jelas Abdul Hakim.
Evi Zainal Abidin, Senator asal Jawa Timur memperkaya diskusi dengan mengajukan pertanyaan Pada APBN 2023, apakah masih ada kemungkinan blocking dana desa untuk BLT. “Apakah pada APBN 2023 ada blocking anggaran untuk dana desa,” tanya Evi.
Selaras dengan Evi, Iskandar Baharudin Lopa Senator Sulawesi Barat mengungkapkan
Pada APBN 2023 apakah memungkinkan ada blocking dana desa untuk BLT.
Tamsil Linrung, senator Sulawesi Selatan mengungkapkan keheranannya dengan Kementerian Keuangan yang sangat tidak suka ada mandatory spending. Namun demikian, kenapa pada dana desa 2022 ada mandatory spending untuk BLT. “Kemenkeu mau ada fiscal space luas agar fleksibel. Kenapa sekarang Kemenkeu ada mandatory spending di dana desa?” tanya Tamsil.
Casytha Kathmandu, Senator Jawa Tengah menyoroti kapasitas SDM di aparatur desa yang harus memenuhi permintaan pemerintah pusat untuk mengakomodir program-program pemerintah pusat di desa seperti SDGs Desa. “Penyusunan perencanaan dana desa perlu perencanaan, salah satunya adalah SDG Desa. Hal ini apakah ini akan menambah beban SDM? Yang saya khawatirkan adalah masalah kuantitas. Apakah SDM desa tersebut mampu menjawab kebutuhan-kebutuhan dari pusat?” tanya Casytha.
Pak Ustad Zuhri Senator Bangka Belitung mengungkapkankKomitmen pemda berpengaruh terhadap dampak pemberian dana desa. Ketika Kabupaten benar-benar membina parangkat desa dengan maksimal, maka optimasi dana desa akan bisa berdampak besar.
Novita Annakota , Senator Maluku mempertanyakan temuan data dana desa naik, tapi tidak nendang untuk mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran desa. Selain itu, Novita yang juga wakil ketua komite IV DPD RI mempertanyakan apakah kenaikan status desa apakah menjadi indikator perbaikan indikator pembangunan dalam skala kabupaten.
Hilda Manafe Senator NTT menyoroti pendamping dana desa yang tidak sedikit banyak pendamping desa berasal dari desa itu sendiri atau sekitar desa. “Kasus di NTT, tidak sedikit pendamping desa dari warga luar provinsi, bukan orang daerah” ungkap Hilda.
Sanusi Rahaningmas Senator Papua Barat menyoroti perbedaan honor pendamping desa antara Jawa dan Luar Jawa. “Saran dan masukan terkait upah pendamping desa. Di luar Jawa perlu ada adjustment karena adanya perbedaan letak geografis yang berbeda dengan Jawa” terang Sanusi.
@red